oleh:
KI GEDE PANEMBAHAN ISWANTO PENANGGUNGAN – SIDOARJO – 085334991908
KI GEDE PANEMBAHAN ISWANTO PENANGGUNGAN – SIDOARJO – 085334991908
Ancang ancang
Pada awalnya tulisan ini hanya sebuah catatan kumal saya yang bersifat pribadi. Goresan compang camping yang tidak memenuhi standard baku tulisan seorang intelek. Saya berpikir berulang kali untuk mempublikasikannya sampai pada suatu pagi Ki Wong Alus memberi pesan singkat “tulisan tentang milad sudah ditunggu”.
Baiklah, dengan mengucap Basmalah dan Istighfar berkali-kali saya dedikasikan tulisan ini bagi kebesaran Tuhan, perjuangan panitia, ketahanan peserta dan sedulur di KWA, ijinkan tulisan ini sekedar mampir berteduh di blog ini.
Inilah tulisan reportase dari pandangan mata saya yang beranjak rabun.
Menuju barat daya
Jutaan bintik hitam menggumpal dan menyelimuti kami ketika Wak Kasan untuk sekian ratus kalinya menginjak pedal rem mobil. Kendaraan kami terpaku kaku sejenak di sepotong tanah kosong sebelah timur sebuah pendopo. Parang Kusumo, dini hari itu kami yang pertama menghirup udaranya. Jarum berdetak jam 03.30. Azan Subuh beberapa saat lagi akan diterbangkan, alam akan dibangunkan, tetapi jutaan bintik hitam itu belum juga berhenti menghujami kami.
Kami rombongan dari Sidoarjo, tanah Jenggala di Brang Wetan, sebanyak delapan orang ditambah dengan Daeng, saudara yang datang dari Makasar menghuni mobil itu untuk 9 jam lamanya. Komposisi, bangku depan Ki wong Alus kemudian Wak Kasan di kemudi, bangku tengah Pak Jono, Daeng dan Kang Sigit sementara dibangku belakang bergerombolah Ki Arya, Mbah Duro dan Keponakannya serta saya sendiri. Mobil berguncang menembus debu dan kelam, memasuki lingkaran misteri hutan Saradan dan alas Ngawi, menyusup dalam dengkur setiap kota yang dilewati.
Ini bukan rombongan pelancong saudara-saudara, ini rombongan para peziarah, jangan bicara tentang kemewahan atau kenyamanan, tetapi berceritalah tentang kepala dan tapak kaki kita yang sama rendah saat bersujud dihadapan-Nya.
Jam 01.00 kami baru melindas jalanan Jogja setelah makan di Jombang jam 20.00 dan jam 23.30 Sholat di Masjid Agung Ngawi serta mendengar kabar gempa yang kembali mengaduk bumi Mataram. Kejadian lindu ini juga membuat kami mencari dulur dari Pati yang tercecer dari travelnya.
Dan azan subuh belum juga terdengar ketika kami bersiap menggelar spanduk dan tikar. Seorang pria berpostur pendek gempal berkaos lusuh menghampiri kami setelah mengusir beberapa orang yang tidur disitu,
“ayo ngaleh-ngaleh ono dayoh iki lho, ngaleehh” (ayo pergi-pergi ada tamu ini lho, pergiii) pekiknya menutupi suara serangga malam.
“aku cah bagus mas, aku yo biso ngrewangi pasang iki lho mas”(saya anak ganteng mas, saya juga bisa bantu masang ini lho mas) lanjutnya mengenalkan diri. Terus terang saya agak geragapan menyikapi sambutan semesra ini.
Dari jawaban Si Bocah Bagus ini saya tahu bahwa (meminjam istilah Emha Ainun Najib) ini adalah salah satu jenis hamba yang dianugerahi tuhan, karena tidak akan ditimbang amal dan dosanya dihadapan Hakim Yang Maha Segalanya di oro-oro Masyhar nanti.
“Ayo rokok,” kata saya mencoba untuk “mengamankan” situasi dari bocah bagus ini. Diluar perkiraan tangan saya ditampiknya “ora mas, nggarai watuk wae kae” (tidak usah mas, itu hanya bikin batuk saja) jawabnya sambil menggaet spanduk ditangan saya. Ketika ditawari uang dia menjawab kalau dia sudah makan. Tidak ada upaya lagi selain membiarkan dia membantu kami. Kesimpulannya: dia butuh pekerjaan. Kesimpulan lainnya, mungkin dia anggap kalau saya adalah teman sejawatnya……
Dan jutaan bintik hitam belum juga pergi dari kami. Gunung pasir meremang putih di satu jarak. Lampu-lampu rumah penduduk takluk dalam kelam. Azan subuh mulai terdengar dan kemana perginya bocah bagus tadi?
Parang Kusumo, sebuah pantai dibarat Parangtritis ini menjadi arena peziarahan bagi pelaku spiritual. Parang Kusumo, tempat pertemuan Panembahan Senopati dengan Ratu Laut Kidul. Parang Kusumo, gua keheningan jiwa yang mulai dipaksa mengikuti logika pasar dan trend. Parang Kusumo, tempat ini menjadi titik bidik saudara-saudara kita yang sekarang menjadi jaksa bagi keyakinan setiap individu yang tidak sesuai dengan mereka.
EEHH DAYOHE TEKO, EEHH GELARNO KLOSO
Jam 07.00 sedulur dari 7 penjuru berkumpul di pendopo barat, tanpa tempat duduk, menghadap ke utara. Dua tikar tergelar di bawah spanduk. 4-5 orang berbincang-bincang dengan suara rendah, sebagian memejamkan mata mencoba menebus rasa kantuk semalam. Ki Wong Alus bercelana Jeans, berkaos oblong berbasa basi dengan beberapa peserta sepuh. Beliau belum tidur semalaman dan belum tentu sudah sarapan. Batu Karang Cepuri yang diselimuti bunga taburan terkurung dalam pagar separuh badan dengan gerbang menghadap laut.
Suara gedebuk buah siwalan jatuh menjadi selingan. Buah kegemaran dewa itu jatuh dari ketinggian, menetak sejawatnya yang jatuh duluan. Langit dan laut sama birunya ditentang bukit hijau berterasiring. Deretan rumah penduduk disebelah barat pendopo tampak ayem dalam kepasrahan hidup, berlainan dengan pantai sebelahnya yang bergelora dalam pasar plesiran.
Bukit pasir berkolom putih memantulkan cahaya. Menabur debu pasir pada tangga beton dalam panas sengangar. Tapi Parang Kusumo adalah keteduhan.
Rombongan Sunda Kelapa datang dari brang kulon, dentang jam 08.00. koordinasi panitia langsung digelar cepat di pendopo timur. Semua perlengkapan dibagi dengan petugasnya sekali. Ki Bayu, ketua Panitia itu berjalan cepat dan tampak belum istirahat dari perjalanan. Tapi tugas tidak bisa menunggu. Maka berbarislah para panitia ke pendopo barat untuk berkenalan dengan peserta yang sudah lama menunggu. Acara dilanjutkan untuk pembukaan dan sambutan. Sementara panitia berjalan ke posnya masing-masing.
Bersama dengan Pak Sujono dan Ki Agung Kediri, saya berada di pos pendaftaran. Alat yang diperlukan tergelar tanpa meja tanpa kursi, bersila menunggu datangnya peserta yang mendaftar. Benar saja setengah jam kemudian peserta berduyun-duyun kearah kami. Baiklah, cek titik kota keberangkatannya, nomor urutnya dan kasih poin, tugas selesai. Tidak perlulah saya ceritakan tentang pendaftaran itu.
11.30 jumlah peserta sudah mencapai 96 orang. Parang kusumo mendadak sepi karena para peserta menuju pos donor darah. Seorang sedulur mengantar peserta yang terlambat datang, seorang gadis dari Jakarta. Setelah mendaftar kami antar peserta tersebut ke pos donor darah. Saya, pak Sujono dan si gadis melewati jalan paving sepanjang pantai yang menyengat. Mengandalkan tanda penunjuk jalan yang telah dipasang. Beberapa kendaraan melewati kami diselingi cericit riang bocah pantai dan teriakan ibu warung yang mejajakan minuman. Pohon tumbuh jarang-jarang dalam jarak tertentu. Anak-anak muda dengan baju warna warni nongkrong diatas motornya. Beberapa mobil terparkir di pantai, sebagian piknik keluarga, sebagian konsolidasi asmara dan sebagian membakar dupa.
Matahari bermurah hati. Laut bermurah hati. Angin bermurah hati.
Sampai di lokasi donor darah tersiar kabar sebagian besar peserta drop tidak bisa disetujui untuk donor darah karena banyak sebab. Kekecewaan mengambang di wajah peserta gagal. Adzan Dhuhur terdengar.
Karena tidak ada lagi yang saya bisa bantu disana, berjalanlah saya bersama Mbah Duro dan keponakannya setelah saya temukan mereka dalam sebuah warung bakso. Kami menuju Cepuri setelah meninggalkan Pak Jono sebagai pembeli pengganti Mbah Duro.
Cepuri Pendopo barat masih sepi. Hanya tas para peserta yang bergeletakan disana-sini. Sementara di pendopo timur Ki Wong Alus dan beberapa sesepuh bercengkerama gayeng. Sumbangan berdatangan dari air minum mineral sampai kue tart.
Dua peziarah selain kami, bapak tua berpakaian hitam-hitam dan temannya tampak tidak terganggu dengan acara ini. Berbincang diselingi kopi dan rokok tembakau klembak menyan-nya. Dari kokok petok ayam yang berseliweran dan gesekan daun pohon siwalan dapat diketahui bahwa ini bukan acara yang formal dan kaku. Lihatlah, bagaimana tenangnya ibu penjual kacang atau peminta sedekah di gerbang Parang Kusumo. Lihat juga ketika pemilik puluhan ayam itu memanggil ternaknya dengan menepuk rantang lurik bekas.
Musholah dipenuhi peserta yang setelah sholat beristirahat di terasnya. Bapak penunggu toilet menghitung income dari peti Aladdin miliknya, sebuah kotak putih dari kayu. Satu persatu panitia memasuki Cepuri dari arah pantai. Jam menunjuk 14.00.
Saat sore hari semua berkumpul di pantai. Lingkaran para peserta yang mengikuti proses penggemblengan di dekat garis laut. Ki Bayu di tengah lingkaran memberi aba-aba, kain belakang udeng iketnya berkibaran ditiup angin. Baju beberapa peserta dikotori pasir basah dengan latar belakang ombak laut yang menggaris putih dan tidak simetris mencoba merayap ke darat. Nun di pojok sana Mbah Duro bersila dan Ki Jono berdiri menatap samudera Sang Ratu. Rinai mulai turun. Hujan bertambah deras. Matahari bersiap meninggalkan cepuri.
BERSAMBUNG….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar